Pemain
Fachri Abar sebagai Janus
Ariyo Bayu sebagai Eros
Shanty sebagai Sari
Fahrani sebagai Ranti
Tipi Jabrik sebagai Subandi
Agus Melasz sebagai Hendro
Didukung oleh : Frans Tumbuan, Jose Rizal Manua, Arswendi Nasution
Klasifikasi Penonton: 17 Tahun ke atas
Setelah sukses lewat film Janji Joni, sutradara Joko Anwar kembali memberikan karya kedua berjudul Kala. Dalam film Kala, Joko Anwar membuat gaya yang berbeda dari film-film Indonesia sebelumnya. Joko Anwar membuat Kala dengan gaya noir, yang selama ini hanya biasa kita temui dalam film Hollywood seperti Black Dahlia, Road To Perdition, ataupun L.A Confidential.
Sebelum masuk kepada pembahasan film Kala, sebaiknya kita mendefinisikan terlebih dahulu apa yang disebut film noir. Seperti yang diungkap oleh Joko Anwar, bahwa noir bukanlah genre, melainkan gaya atau mood, atau sudut pandang film dalam membuat film.
Menurut Wikipedia, film noir adalah drama kriminal hollywood, menekankan pada ambiguitas moral dan motivasi seksual. Periode film noir berlangsung pada tahun 1940-an sampai 1950-an di Amerika. Pada era tersebut film noir diasosiasikan dengan visualisasi hitam-putih yang berakar pada Sinematografi Ekspresionis Jerman. Prototype noir klasik ini biasanya berupa fiksi kriminal (crime-fiction) yang dilatarbelakangi masa depresi Amerika Serikat (setelah masa Perang Dunia I). Kata film noir (French: black film), pertama kali diaplikasikan di film Hollywood oleh kritikus Perancis Nino Frank pada tahun 1946.
Kembali ke Kala besutan Joko Anwar, film ini bercerita di sebuah negeri antah berantah yang sedang mengalami kekacauan, kekerasan, bencana alam, serta ketidak-adilan. Di negeri tersebut sebagian orang berharap bahwa suatu saat, akan turun seorang "Ratu Adil" yang akan menyelamatkan negeri mereka dari kekacauan yang ada.
Di dalam negeri yang penuh dengan suasana chaos, terjadilah pembunuhan terhadap lima orang yang dibunuh oleh massa. Seorang wartawan bernama Janus (Fachri Albar) meliput kasus tersebut untuk korannya. Namun, nasib baik akhir-akhir ini kurang berpihak pada diri Janus. Ia mengalami persoalan di dalam rumah tangganya ketika sang istri, Sari (Shanty) berusaha meninggalkan dirinya. Selain itu, Ia juga hampir dipecat di tempatnya bekerja. Selain Janus, seorang detektif bernama Eros (Ario Bayu) juga mendapatkan tugas untuk menyelidiki kasus pembunuhan tersebut.
Karena begitu susahnya mencari informasi mengenai kasus tersebut, Janus berusaha dengan cerdik untuk meletakan sebuah tape recorder di kamar mayat tempat para korban pembunuhan. Sial bagi Janus, yang terekam dalam tape tersebut rupanya informasi yang sangat penting yang diincar oleh banyak orang, sehingga Janus mulai dikejar oleh pihak yang menginginkan apa isi dari rekaman tersebut.
Mengomentari film ini, tampilan beda yang dibuat Joko Anwar nampaknya menjadi sangat menarik, melihat film Indonesia akhir-akhir ini hanya menyuguhkan horror ala suster ngesot atau pastur tak berkepala ataupun hantu-hantu domestik yang diangkat ke layar lebar. Kalaupun tidak Hantu, biasanya drama romantis ala "abg" yang mengharu biru, yang berakhir pada kematian atau kebahagiaan yang mirip seperti serial cinta sinetron Korea.
Tampilan kelam serta nuansa sephia yang ditampilkan juga terlihat menarik untuk menyegarkan mata kita. Pada akhir film, special efek yang ingin ditampilkan juga terlihat lumayan, walaupun memang belum semulus seperti yang dilakukan oleh Hollywood. Hal tersebut masih batas kewajaran, melihat bahwa film nasional masih tahap proses kebangkitan.
Yang perlu dicermati dalam film ini, adalah ilustrasi negeri Antah-berantah yang ditampilkan oleh Joko Anwar sangatlah mirip dengan kondisi negeri Indonesia yang ada saat ini. Mulai dari adegan kekerasan yang dilakukan sekelompok gerombolan melakukan pengrusakan secara anarkis, mengingatkan kita pada salah satu organisasi massa di ibukota yang seringkali melakukan hal tersebut. Atau dalam satu adegan film, terlihat sebuah pengumuman pemerintah, bahwa perempuan di atas jam 22.00 WIB, dilarang untuk keluar dari rumah. Hal tersebut memang benar terjadi di kota Tangerang yang memberlakukan peraturan tersebut.
Selain itu, tampilan poster anti pornografi juga menghiasi beberapa scene dalam film, lagi-lagi hal tersebut sangat mirip dengan Indonesia yang diramaikan oleh kasus RUU APP belakangan ini.
Yang paing mutakhir adalah bagaimana Joko Anwar menampilkan kasus pencarian harta karun dalam cerita film ini membuat Janus menjadi incaran banyak orang. Pencarian harta karus tersebut, mengingatkan kita pada usaha beberapa kelompok orang di Indonesia yang beberapa tahun lalu, rela merusak situs budaya di Batu Tulis untuk meraih harta tersebut.
Berbicara akting pemain, Fahrie Albar yang mengemban tugas sebagai tokoh utama tampil cukup baik sebagai karakter Janus. Ini nilai positif buat Fachri yang sebelumnya juga tampil memukau dalam Jakarta Undercover saat memerankan tokoh Waria.
Nilai plus juga boleh dialamatkan kepada karakter Ario Bayu yang memerankan tokoh Eros dengan macho layaknya detektif polisi ala hollywood. Penampilan cukup baik juga bisa dialamatkan kepada Fahrani yang bermain cukup baik dengan tampilan karakter cukup dingin dalam setiap adegan. Fahrani juga cukup menarik dan sensual saat harus bertindak layaknya ksatria dengan pedang berada di tangannya.
Sementara untuk Shanty yang berperan sebagai Sari dapat dikatakan biasa-biasa saja dalam film ini. Peran oportunis yang ada dalam karakternya, tidak terlihat cukup mencolok dari perannya. Sebagai penonton, sampai akhir adegan Shanty bermain dalam film ini, sepertinya tidak membuat saya untuk membencinya. Shanty tetap terlihat biasa saja. Justru kebencian dalam diri saya muncul, ketika bagaimana Frans Tumbuan yang kuat dengan karakter seorang bapak, tampil begitu beringas namun dingin serta kejam dalam berperan antagonis.
Tampil hanya sebagai pendukung, Agus Melasz justru tidak tampil sebagai peran antagonis. Namun, pengalamannya dalam film layar lebar, tetap membuat Agus Melasz tampil cukup meyakinkan memerankan tokoh polisi tua Hendro.
Secara keseluruhan, Joko Anwar nampaknya berhasil dalam bereksperimen untuk membuat film dengan gaya noir. Ini merupakan nilai plus dari film ini. Tampilan sinematografi serta bangunan tua ala semarang juga cukup mendukung untuk melengkapi jalan cerita dalam film. Film ini tentunya semoga dapat menyenangkan para penonton Indonesia yang menyukai gaya noir. Selama ini gaya noir, hanya bisa dinikmati penonton Indonesia lewat film-film luar saja. Selamat Menonton !!!